Tangisan, Darah, dan Dukacita Natal di Tanah Papua
Wamena, bidikkriminalnews.com – Natal, yang seharusnya menjadi perayaan damai dan sukacita bagi umat Kristiani, terus dirundung duka mendalam di Tanah Papua. Selama enam tahun terakhir, dari 2018 hingga 2024, suasana Natal di Papua nyaris tidak terasa. Dukacita, ketegangan politik, dan konflik bersenjata telah menggantikan harmoni dan kehangatan yang biasanya menyertai bulan Desember.
Natal yang Direnggut oleh Politik dan Konflik
Menurut Yefta Lengka, seorang aktivis kemanusiaan asal Wamena, pesta demokrasi Indonesia yang bertepatan dengan persiapan Natal telah merampas hak kedamaian umat Kristiani, khususnya di wilayah La-pago.
“Pesta demokrasi yang berlangsung di bulan November hingga Desember mengganggu persiapan spiritual umat Kristiani untuk menyambut kelahiran Isa Al-Masih. Seolah-olah, ini sengaja dilakukan untuk menekan nilai-nilai kekristenan,” ungkapnya.
Selain itu, konflik bersenjata yang berlangsung di Papua sejak 1963 hingga kini terus menjadi luka yang belum sembuh. Ratusan ribu warga Papua menjadi korban, kehilangan rumah, dan hidup dalam pengungsian di tengah hutan.
“Darah, air mata, dan tangisan mengisi kehidupan para pengungsi. Mereka hidup di kamp-kamp pengungsian tanpa kepastian kapan bisa pulang dan merayakan Natal di tanah kelahirannya,” tambah Yefta.
Dukacita di Tengah Ketidakadilan
Ketidakstabilan di Papua diperburuk dengan berbagai kebijakan pemerintah Indonesia, seperti:
1. Pemaksaan pembangunan pusat pemerintahan di wilayah Papua.
2. Proyek strategis nasional di Merauke yang memarjinalkan masyarakat adat.
3. Penambahan batalyon infanteri yang meningkatkan tekanan militer.
4. Transmigrasi besar-besaran yang mengancam keberlangsungan budaya orang asli Papua.
5. Penyebaran miras, perjudian, dan narkoba yang merusak tatanan sosial masyarakat.
Isu-isu ini menambah beban hidup masyarakat Papua, yang merasa terpinggirkan di tanahnya sendiri.
Natal Tanpa Sukacita
Bagi masyarakat Papua, Natal bukan lagi tentang perayaan kelahiran Kristus, tetapi tentang bertahan hidup. Di Pegunungan Bintang, warga hidup dalam pengungsian; di Nduga, penduduk desa berlindung di hutan setelah rumah mereka dibombardir.
“Bagaimana mungkin orang Papua merasa damai, merasakan suasana Natal, sementara saudara-saudara mereka dibantai?” tanya Yefta retoris.
Harapan Akan Perubahan
Di tengah situasi ini, Yefta menyerukan kepada pemerintah dan gereja untuk menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan lainnya. “Pemerintah dan gereja seharusnya menjadi penjaga kemanusiaan. Ketika mereka gagal, maka keduanya telah kehilangan maknanya,” tegasnya.
Natal di Papua adalah sebuah pengingat bahwa kedamaian dan keadilan belum sepenuhnya hadir di sana. Di balik tangisan dan darah yang tumpah, masih ada harapan bahwa suara kemanusiaan akan didengar, dan Natal akan kembali menjadi momen penuh sukacita bagi masyarakat Papua.
(Red)